Menjadi Guru itu Tantangan : Sebuah Pengalaman

Minggu, 22 Maret 2020

Menjadi Guru itu Tantangan : Sebuah Pengalaman


Mengajar, Pendidikan, Sekolah, Kelas, Pengajaran


Saya Sun, panggil saja begitu. Ini adalah tulisan pertama saya. Kali ini, ijinkan saya bertanya, siapa sih yang tidak mengenal kata GURU?

Iyap, suatu profesi yang membuat ungkapan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" menjadi begitu melekat dengan profesi guru. Bukan tanpa alasan kalau profesi guru mendapat sebutan itu, sudah banyak cerita, kisah, peristiwa, dibalik penyebutan istilah guru.

Banyak cerita sedih yang akhirnya bisa mengantar pada kesuksesan yang diidam-idamkan dalam karir, menjadi PNS misalnya. Tapi tak sedikit pula cerita sedih perjuangan guru yang setelah sekian puluh tahun tetap saja masih berstatus honorer. Bahkan, ada segelintir kisah juga yang akhirnya harus menyerah dan vakum dari profesi mulia itu. Salah satunya adalah saya sendiri.

Selama kurang lebih empat tahun, terhitung dari tahun 2012 sampai terakhir 2016, alhamdulillah saya sudah menjadi guru di beberapa tempat, baik itu guru sekolah dasar umum maupun guru bimbel. Ada beberapa pengalaman yang ingin sekali saya bagi, boleh ya? 

Pertama, saat saya menjadi asisten guru di bimbel tempat kakak saya, benar-benar pengalaman tak terlupakan. Saat itu, perjuangan membagi waktu antara mengajar di pagi hari dan setelah Dzuhur mengajar bimbel, rasanya tak mudah. Perjalanan yang cukup jauh antara tempat tinggal saya di Jakarta Timur ke tempat bimbel yang berada di Jakarta Selatan, ditempuh dengan menggunakan transportasi rute Kampung Melayu-Tanah Abang. Saat keberangkatan, saya masih bisa mendapatkan kursi karena berangkat langsung dari terminalnya. Tetapi saat pulang, subhanallah, saya harus rela berdiri di pinggir pintu saking padat dan sesaknya dengan ibu-ibu yang selesai kulakan di Pasar Tanah Abang.

Tidak terbayang betapa lelahnya hanya untuk mengajar selama satu jam. Saking lelahnya, akhirnya menjadikan saya tidak fokus saat turun, dan membuat saya sempat beberapa kali terjatuh dari bus tersebut. Pernah pula terseret beberapa meter. Tapi, alhamdulillah masih diberikan kesempatan hidup sampai hari ini oleh Allah.

Pengalaman kedua adalah saat saya mengajar di SD Swasta. SD itu muridnya hanya sedikit, dan mungkin masuk ke kategori SD untuk kalangan kaum papa. Murid-murid  laki-laki super aktif. Sayangnya, aktif disini dalam pengertian kurang baik. Seperti mereka selalu keluyuran saat jam pelajaran untuk bermain bola, bolos dan kabur dari kelas untuk bermain PS, bahkan paling parahnya saat salah seorang dari murid lelaki hampir menonjok saya saat saya tegur kelakuannya menjahili anak perempuan.. Benar-benar tidak ada rasa hormat sama sekali terhadap guru.. Belum lagi pemikiran mereka akan gampangnya pemberian nilai walaupun kelakuan minus tetap mereka lakukan, bahkan saat saya mengancam akan memberikan nilai jelek maka dengan entengnya mereka berkata "nanti juga bakalan diubah menjadi bagus sama kepala sekolah..." Subhanallah.. 

Banyak tantangan dan kesulitan saat saya menghadapi mereka. Sampai suatu kali saya menangis di kantor saking kewalahannya. Pernah suatu saat juga setelah istirahat, anak didik saya yang laki-laki menghilang semua, setelah saya telusuri, ternyata mereka tetap asyik bermain sepak bola di belakang sekolah padahal bel masuk pelajaran telah 20 menit berlalu.

Itu baru sedikit sekali dari kelakuan 'ajaib' mereka. 

Kalau diingat sekarang, kadang saya jadi geli sendiri. Masih teringat saat saya sambil memegangi rok supaya tidak terkena tanah lumpur harus ngomel-ngomel menyuruh mereka supaya masuk kelas.

Pengalaman lain saat mengajar di SD itu adalah ketika saya diutus untuk mewakili sekolah. Dan kami bertiga melakukan tes diagnostik, tes yang selalu dilakukan para wali kelas 4,5, dan 6, tes dengan mengujikan pelajaran yang akan dibuat ujian akhir. 

Saya yang kurang menguasai pelajaran Matematika akhirnya mengikuti les privat dengan guru matematika yang kebetulan juga wali kelas 5. Hal ini menunjukkan bahwa kami para guru pun tetap harus selalu menambah ilmu juga kan, tidak stagnan di satu tempat.  Terlebih, sekarang serba elektronik, raport pun sudah menjadi e-raport. Belum lagi yang lain. Karena itu, guru-guru juga mesti membekali dengan literasi digital. Sehingga bisa mengikuti tren belajar siswa di jaman yang serba digital dengan adanya inovasi teknologi.

Nah, pengalaman terakhir yang akan saya ceritakan dan yang paling tak terlupakan adalah saat saya mengajar pelajaran agama di sekolah National Plus

Dari awal saya diwanti-wanti jangan sampai menyinggung agama lain, karena walaupun mayoritas murid beragama muslim, tapi owner dan guru-guru mayoritas non muslim.

Semula saya pikir masih tidak terlalu sulit, tapi ternyata berat juga dalam penyampaian materi terutama dalam penyampaian halal dan haram. Murid pun kritis dan membuat saya kewalahan berusaha untuk sehati-hati mungkin menyampaikan supaya jangan sampai menimbulkan salah paham. 


Yang paling bikin nyesek saat seorang murid perempuan datang kepada saya untuk curhat menanyakan mengapa nilainya bukan nilai yang sempurna. Ia datang dengan wajah yang sangat sedih, saat saya menanyakan alasannya mengapa dirinya sedih, ia mengatakan ibunya memarahinya dan menyuruhnya harus mendapat nilai sempurna dalam pelajaran agama, bahkan mengancam akan memasukkan dia ke agama lain.

Saya pun merasa bersalah, walaupun memang kemampuannya hanya mampu mendapat nilai 90, tapi tuntutan sempurnanya itu membuat saya jadi serba salah. Karena 

Nyatanya, pelajaran agama tidak segampang hanya menghafal surat pendek misalnya, pelajaran agama juga mencakup keseluruhan aspek, baik itu budaya, sejarah, maupun aspek lain yang tidak gampang dipelajari. Jangankan anak kecil, orang dewasa pun masih banyak yang berbeda pemahaman dan pandangan terhadap agamanya sendiri.

Dari pengalaman-pengalaman itulah, saya berkesimpulan bahwa setiap pekerjaan dan profesi apapun itu tetap mempunyai tantangan masing-masing, pun tetap mempunyai tingkat kesulitan masing-masing. Saling respect satu sama lain akan membawa sikap saling menghargai, apapun profesi kita.

Semoga guru akan selalu jadi pahlawan tanpa tanda jasa. Dan juga melawan stigma negatif peran guru akhir-akhir ini yang mewarnai fenomena tak diinginkan di kalangan generasi kita. Semoga sekolah akan tetap aman, nyaman, berkualitas, dan mengajarkan budi pekerti yang menjadi bekal moral anak didik.

Meskipun sekarang saya harus melepaskan profesi keguruan saya dan beralih profesi menjadi online seller atau penjual online. Tapi setidaknya saya tetap berada pada jalur pendidikan, karena salah satu produk saya adalah buku dan alat penunjang edukasi anak.. 

Bukankah pejuang pendidikan itu tak selamanya harus guru, bahkan seorang ibu rumah tangga pun bisa menjadi pejuang pendidikan selama mereka mengajarkan pendidikan budi pekerti dan akhlak yang baik kepada anaknya, karena sesungguhnya pendidikan pertama dan utama berasal dari keluarga.

Salam dari saya, Sun, seorang yang tak pernah berhenti belajar sebagai pendidik, bermula dari rumah. Seperti yang saat ini saya lakoni.



- The Jannah Institute -


Kontributor : Sundari, Madiun
Foto : pixabay.com, dokpri


1 komentar :

  1. bismillah kaaa, saya menitikan air mata saking terharunya membaca tulisan kaka. saya sekarang mahasiswa pendidikan agama islam yang masih menimbang2 untuk menjadi guru karna memmang sulit sekali. huhuhu, doakan saya ya kakaaa

    BalasHapus