Indahnya Menjadi Minoritas Muslim di Negara Mayoritas Non-Muslim

Kamis, 02 Desember 2021

Indahnya Menjadi Minoritas Muslim di Negara Mayoritas Non-Muslim



Pernahkah Jannati memimpikan hidup di luar negeri? Lalu bagaimana hidup menjadi muslim di negara yang mayoritas non-muslim? Pada tanggal 1 Oktober kemarin, TJI Sharing Session menghadirkan seorang narasumber yang sudah pernah tinggal di berbagai macam negara. Simak pengalamannya, yuk!

Sebelum menceritakan pengalamannya, lebih baik untuk mengenal Narasumber terlebih dulu. Beliau adalah Rohmah Rahmawati, biasa dipanggil Rohmah. Ia lahir dan besar di Jakarta, tetapi sekarang berdomisili Ankeny, lowa, USA. Aktivitas sehari-hari beliau adalah sebagai Ibu rumah tangga dengan satu anak yang saat ini berusia lima tahun.

 

Poster TJI Sharing Session - Emak Rantau Melintasi Tiga Benua

Selain itu, beliau juga akftif berkegiatan online sebagai mahasiswa dan kepala cabang Kipma Efrimenia di Komunitas Ibu Profesional. Terlebih lagi ketertarikannya dalam bidang kepenulisan yang membuatnya menghasilkan karya 15 buku antologi. Beliau juga menekuni hobinya dalam memasak dan quilting.

Sebelumnya, mba Rohmah sudah pernah berangan-angan untuk tinggal di luar negeri dan menikah dengan WNA. Ajaibnya, saat ini beliau hidup di luar negeri dengan suami yang merupakan Warga Negara Amerika. Indah sekali ya bisa hidup di dalam mimpinya sendiri, Jannati!


Setelah itu beliau kembali ke Jakarta, sementara suaminya pindah ke Kuwait. Ia belum bisa ikut Suami ke Kuwait karena belum ada visa pada saat itu. Jadi, mba Rohmah menjalani Long Distance Marriage selama 7 bulan hanya untuk mempersiapkan visa.

Penantian Panjang mba Rohmah membuahkan hasil, hingga akhirnya ia menetap di Kuwait, dan melahirkan putra semata wayangnya, yaitu Ismail.

Setelah tinggal di Kuwait selama setahun, mba Rohmah dan suami berpindah lagi ke Marocco, suaminya ingin melanjutkan studi di Universitas Islam di sana, tetapi terhalang proses administrasi yang merepotkan. Lalu, berpindah lagi ke Sudan karena suaminya melanjutkan studi disana, hingga akhirnya mendapatkan beasiswa ke Madinah.

Alhasil, suaminya melanjutkan studinya ke Madinah, dan mba Rohmah kembali ke Jakarta. Sehingga mba Rohmah dan suami menjalani Long Distance Marriage lagi selama setahun. Tetapi, pada akhirnya sang suami memutuskan untuk kembali ke USA dan melepas Madinah dengan alasan lebih baik hidup bersama keluarga.

 

Walaupun suami mba Rohmah memiliki impian untuk studi di Universitas Islam, tapi suaminya tak tega hati untuk meninggalkan istri dan anaknya. Sang suami lebih mementingkan menjalani peran sebagai suami dan ayah dibanding merantau sebagai pelajar. Setidaknya dia sudah mencoba untuk mencapai impiannya tersebut, ujar mba Rohmah.

Pengalaman mba Rohmah yang paling berkesan adalah ketika ia hidup di Kuwait, karena beliau bisa menikmati fasilitas muslim dan banyak teman sesama muslim atau Indonesia disana. Menurutnya, setiap tempat punya sisi baik dan buruk. idak ada yg sempurna, begitu pun sebaliknya.


Hal ini berlaku ketika mba Rohmah tinggal di Kamboja dengan mayoritas penganut Budha. Namun ia tinggal di lingkungan Muslim berbarengan dengan sesama muslim lainnya. Sehingga ia mudah menemukan mushola, dan restoran halal.

Beliau juga menambahkan, di kota Phnom Phen sendiri sudah banyak restoran halal dan terdapat masjid besar, karena kota tersebut adalah kota pariwisata yang banyak dikunjungi turis dari berbagai macam negara, seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Kuwait, Arab Saudi, dan negara lainnya.

Saat tinggal di Kamboja, mba Rohmah tidak pernah mendapatkan diskriminasi, karena di negara tersebut sudah banyak Muslimah yang memakai tutup kepala/hijab pendeknya saat bersekolah di sekolah umum. Sedangkan untuk di pedesaan sudah banyak sekolah khusus muslim.

 

Selain pernah tinggal di lingkungan muslim, mba Rohmah juga mendapatkan kemudahan dalam mengakses fasilitas muslim, karena di KBRI Indonesia juga banyak yang muslim. Sehingga ada kegiatan khusus muslim. Saat itu, beliau mengikuti pengajian mingguan dengan ibu-ibu dari KBRI.


Namun, dari banyaknya pengalaman mba Rohmah melanglang buana ke berbagai benua, tentu saja tidak hanya merasakan hak istimewa sebagai muslim. Tetapi ia juga pernah mengalami susahnya hidup menjadi muslim, seperti ketika beliau tinggal di USA yang jarang sekali ditemukan sesama muslim, masjid ataupun makanan yang halal.

Untuk menyiasati kesulitan tersebut, mba Rohmah memiliki caranya tersendiri untuk menjalani hidup sebagai muslim di negara minoritas, terutama dalam hal memilah-milih makanan yang halal.

Menurutnya, untuk makanan halal di negara non-muslim sebenarnya kita bisa memilih untuk full Halal atau ambil keringanan. Selama tinggal di tempat non-muslim dan sulit menemukan penjual makanan halal, maka kita bisa memakan makanan tersebut dan dikembalikan ke hukum asalnya.

 

Misalnya jika ingin memakan daging sapi atau ayam, hukumnya yang halal adalah ketika di sembelih secara islami. Namun jikalau tidak ada atau tidak memungkinkan untuk membeli daging tersebut, kita bisa membelinya di toko umum daging sapi atau ayam. Asalkan hukumnya daging tersebut halal untuk dimakan.

Lalu, untuk makanan olahan kita harus paham campuran atau prosesnya bagaimana agar tidak bercampur dengan bahan makanan haram, seperti babi serta urunannya, alkohol, dan bahan lainnya yang berbahaya

 

Mba Rohmah sudah belajar banyak hal mengenai adaptasi atau penyesuaian diri dengan beberapa tata cara ibadah yang agak berbeda, karena perbebdaan mazhab. Tentu saja hal ini tidak menjadi kendala untuk mba Rohmah. Di tambah ia dan suami memiliki jiwa petualangan, sehingga lebih mudah untuk mereka berdua beradaptasi dengan budaya baru.

 

Selain urusan memilih makanan halal dan beradaptasi dengan budaya yang baru, mba Rohmah juga memiliki trik khusus untuk berpindah-pindah. Menurutnya, bawa barang yang hanya di perlukan saja. Jika bisa dibeli di negara setempat, tidak perlu membawanya lagi. Lalu jika ingin pindah lagi, hibahkan barang yang sudah di beli tersebut kepada teman.

 

Walaupun mba Rohmah termasuk orang yang apik dalam menjaga barang, ia tidak mau begitu berat untuk melepaskan tersebut. Pada akhirnya semua itu hanya urusan dunia yang akan kita tinggalkan, termasuk melepaskan keluarga di Indonesia. Mba Rohmah sudah bersiap diri jikalau tidak ada umur dan tidak bisa berjumpa lagi.

 

Semua kesulitan yang sudah dialami oleh mba Rohmah tetap ia jalani dengan senang hati, karena semua ini adalah bagian dari impiannya yang sudah diwujudkan oleh Allah. Sehingga ia harus menerima konsekuensi dari mimpinya, dan belajar untuk menikmati semua kerepotan yang ia alami. Mashaallah sekali ya, Jannati?



0 komentar :

Posting Komentar